Support

translation-not-found[author]

Admin

admin

Safe Harbour Policy Melindungi Industri Platform

Pernah mendengar istilah Safe Harbour Policy? Atau Digital Millenium Copyright Act (DMCA)?

Safe Harbour Policy dan DMCA sebenarnya sudah lahir sejak 1998 silam. Pencetusnya adalah Presiden Amerika Serikat Bill Clinton masa itu yang melihat perkembangan industri digital dunia akan mencapai tahap persaingan yang ketat. Prediksinya kini menjadi kenyataan. Sejumlah platform bermunculan, dari Google, Baidu, Youtube, dan lain sebagainya. Terlebih industri e-commerce pun menggeliat masif. “Inovasi-inovasi yang berhubungan dengan internet itu datangnya dari Amerika Serikat,” tukas CEO Tokopedia William Tanuwijaya.

Ia menceritakan bahwa latar-belakang lahirnya regulasi atau kebijakan Safe Harbour Policy untuk melindungi para pembuat platform berbasis digital di internet. Dan karena internet sifatnya sangat open bagi siapapun, regulasi dan kebijakan tersebut dibuat.  “User leluasa mem-posting atau meng-upload content. Dan ternyata hal itu bagaikan pisau bermata dua,” sergahnya. Dicontohkannya bahwa penyalahgunaan internet bisa banyak terjadi seperti membagi content pornografi atau  pembajakan dan pemakaian hak cipta tanpa izin pemiliknya.

Manfaat dari keberadaan regulasi Safe Harbour Police dan DMCA dituturkannya memiliki latar sejarah dari kekhawatiran internet yang bakal berisi banyak content negatif karena sifatnya yang open. “Bill Clinton melihat sisi lain. Dia percaya pada bahwa internet adalah ruang semua orang untuk berinovasi. Jadi dia mengeluarkan Safe Harbour Policy untuk melindungi inovasi tersebut.”

 Inovasi yang dimaksud adalah aksi para pendiri platform dari kalangan entepreneur-entepreneur muda serta mendorong lahirnya ribuan platform yang mendukung kegiatan digital internet. “Safe Harbour Policy alih-alih bukan memproteksi konsumennya, tetapi memproteksi industri platform-nya.”

 Ia menuturkan dengan perlindungan ini maka akan bermunculan platform baru hingga memunculkan daya saing yang tinggi untuk menjadi yang terbaik sebagai pemenangnya. “Ini mendorong lahirnya 1000 google, 1000 youtube, 1000 wikipedia, dan kemudian yang terbaiklah yang menang. Wikipedia menjadi yang terbaik di content ensiklopedia, youtube menjadi yang terbaik di platform video content, dan lain sebagainya. Seperti itulah,” paparnya.

 Keberadaan Safe Harbour Policy memiliki manfaat mem-filtrasi para platform yang bisa saja kecolongan saat diunggah user-nya. “Contohnya adalah jika ada yang meng-upload pornografi, harusnya si user-nya bukan youtube-nya. Melanggar hak cipta pun demikian, yang salah user-nya bukan youtube-nya.”

 Kejadian mengenaskan terkait regulasi semirip yang belum pasti diberlakukan Indonesia diungkap olehnya. “Pada kasus beberapa tahun silam ada penjualan bayi di OLX.co.id. Padahal bisa saja yang meng-upload itu kompetitornya OLX. Beritanya heboh hingga bahkan OLX dituntut secara hukum.”

 Safe Harbour Policy dapat berperan dalam hal itu. “Tanpa adanya Safe Harbour Policy, persaingan tak sehat dan saling menghancurkan di industri e-commerce Indonesia bisa saja terjadi. Tinggal upload saja produk atau content yang melanggar ketentuan. Bukan content-nya yang dicekal tetapi pemilik situsnya yang dicekal. Ini bisa terjadi di Indonesia.”    

 Peran user untuk mendukung internet sehat dan positif pun tidak kalah pentingnya. “User lainnya yang merasa terganggu dengan content yang diunggah user lainnya, dapat melaporkan dengan tools yang disediakan platform penyelenggaranya. Dan pihak platform wajib menanggapi dengan mem-banned atau memoderasi content yang melanggar.”

Meski regulasi ini belum mutlak diberlakukan di Indonesia, William menambahkan hal tersebut sudah dilakukan di kalangan anggota asosiasi e-commerce Indonesia sebagai landasan beroperasinya. Ini dilakukan karena efektif terbukti berjalan di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. “Aturan-aturan yang ada di Tokopedia sudah menerapkan hal tersebut karena telah terbukti di Amerika Serikat dan negara maju lainnya,” pungkasnya.