Support

translation-not-found[author]

Admin

admin

Membedah tantangan Komunikasi Digital di Era Pandemi

Strategi marketing tidak akan pernah bisa dilepaskan dari kesuksesan sebuah usaha, terlebih yang sudah berbentuk organisasi besar seperti perusahaan. Profesional di divisi marketing saat ini menghadapi tantangan yang mungkin belum pernah mereka hadapi sebelumnya. Pandemi, situasi yang hampir dua tahun belakangan ini mampu mengubah tatanan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia, bahkan dunia.

Dalam kondisi yang sangat jauh berbeda dengan tatanan kehidupan sosial ekonomi sebelumnya, membutuhkan strategi marketing yang revolusioner dan tentunya applicable. Menyoroti hal ini, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) mencoba menggali cerita dari beberapa pihak dalam acara Marketing Forum untuk bisa menjadi pengalaman dan pembelajaran para anggota.

Dalam sesi tersebut hadir VP Blibli Travel, Theresia Magdalena. Seperti kita tahu, sektor pariwisata menjadi salah satu industri yang sangat terdampak pandemi. Theresia menjabarkan bagaimana pandemi benar-benar mempengaruhi pola perilaku dan preferensi konsumen dalam membeli produk wisata.

“Konsumen lebih mementingkan kebersihan destinasi wisata/menginap dan travel insurance. Mereka juga lebih menyukai kegiatan road trip, outdoor, dan staycation, serta lebih memilih untuk membeli travel voucher (beli sekarang untuk nanti),” kata Theresia dalam Marketing Forum yang digelar pada Kamis (29/4).

Dalam kesempatan yang sama, Praktisi Digital Marketing, Ignatius Untung juga hadir dan menjelaskan kondisi konsumen saat ini. Untung menjabarkan kelerasan kondisi saat ini dengan Teori Ice Berg. “Kondisi normal marketing hanya melihat need dan want, tapi dalam kondisi new normal ada pain, fear, dan anxiety yang mempengaruhi,” kata Untung.

Yang perlu juga menjadi sorotan, pria yang kini juga mendalami Neuromarketing ini juga mengajak para marketer untuk semakin memperhatikan konsumen lebih jauh lagi. Pasalnya, manusia memang memiliki kemampuan untu beradaptasi, termasuk dengan kondisi pandemi.

“Manusia memiliki dua pola perilaku yakni seek pleasure atau avoid pain, di mana mayoritas orang kebanyak lebih menghindari pain,” ujar Untung menambahkan. “Sehingga ketika pandemi orang akan lebih rela untuk mencari kesenangan jika yang didapatkannya itu dua kali lipat atau lebih.”

To Do and Supposed To Do

Menghadapi kondisi konsumen yang juga sedang pada tahap menyesuaikan diri dengan pandemi, marketer ditantang untuk bisa mengelaborasi dan berinovasi. Medan tempurnya yang tak lagi sama dengan dua tahun lalu, menuntut kreativitas yang mampu menggugah minat konsumen untuk mau membeli dan menggunakan produk dari perusahaannya lagi.

Blibli Travel, menurut Theresia, memahami bagaimana konsumen masih membutuhkan kesenangan berwisata meski dalam bentuk yang berbeda dibanding sebelum pandemi. “Menghadapi pandemi dan menjawab kebutuhan customer, kami memperjualbelikan live virtual tour dari beragam destinasi domestik ataupun internasional.”

Lebih lanjut, dalam sesi tanya jawab, Theresia juga menjelaskan strategi yang juga masuk sebagai pertimbangan Blibli Travel. “Saat ini lebih engage melalui personal dan direct approach ke retention konsumen.”

Ia menjelaskan bahwa dalam industri pariwisata, konsumen harus lebih dulu merasakan dan melihat servisnya bagus. “Jadi kamu lebih maintain ke konsumen yang sudah ada, dan juga merapikan fasilitas, memperbanyak inventaris seller, serta meng-improve yang bisa diperbaiki.”

Sementara Untung mengajak para marketer untuk mempersiapkan strategi setelah new normal. “Apa yang dapat dilakukan untuk menghadapi era setelah new normal?”

Untung melanjutkan, pertama adalah mengantisipasi dan mengambil kesempatan lebih awal, mengidentifikasi aktivitas atau produk yang diinginkan jika keadaan sudah normal. Kedua, mengidentifikasi produk yang masih relevan jika terjadi situasi normal, lalu juga mengidentifikasi dan mengembangkan pola habit di situasi normal nanti.

Keempat, jika tiga strategi awal sudah dilakukan, perusahaan perlu memiliki strategi high exit barrier. Misalnya, memberi pelayanan atau pengalaman menyenangkan. “Lalu juga menjaga brand perusahaan kita agar terus terlihat oleh masyarakat, dan membangun brand yang memiliki empati, karena brand bagus tidak akan mengambil keuntungan besar dalam kondisi sulit.”

Semoga bermanfaat. Jangan lewatkan idEA Forum lainnya.

Editor: Vriana Indriasari